Dampak psikologis dari merokok adalah timbulnya pengaruh terhadap pikiran perasaan dan perilaku perokok. Dampak psikologis tersebut adalah :
- Adiksi (ketagihan). Nikotin dalam asap rokok merupakan bahan yang menimbulkan efek ketagihan (adiktif), sebagaimana kelompok zat adiktif lainnya seperti heroin (putau), morfin, ganja, golongan ampetamin (extasy, shabu dll), alkohol dan psikotropika lainnya.
- Toleransi dan Dependensi. Efek ketagihan (adiktif) akan berkembang secara fisiologis menjadi efek toleransi (penambahan dosis). Orang yang sudah bertahun-tahun menjadi perokok, kadar toleransi nikotin dalam tubuhnya telah cukup tinggi. Pada akhirnya secara psikologis merokok akan menimbulkan efek dependensi (ketergantungan) yang menyebabkan perokok mengalami reaksi putus zat apabila dihentikan secara mendadak. Beberapa tanda dan gejala dari reaksi putus zat adalah : badan lemah, sakit kepala, gangguan pencernaan, kurang konsentrasi, lesu, sulit berfikir batuk-batuk dan lain-lain. Keluhan ini bersifat sementara, lama/tidaknya keluhan tersebut tergantung dari lama dan beratnya seorang merokok. Jika gejala putus zat nikotin (sakau) ini dapat dilewati dengan tekad yang kuat, maka seoarng perokok akan dapat berhenti merokok. Oleh karena itu kesabaran dan kemauan yang keras diperlukan untuk keberhasilan berhenti merokok. Demikian hebatnya efek ketagihan dan ketergantungan pada rokok, sehingga dapat menjadi penghubung menuju ketergantungan terhadap zat adiktif lainnya yang lebih berbahaya seperti heroin (putau), morfin, ganja, golongan ampetamin (extasy, shabu dll), alkohol dan psikotropika lainnya. Rokok adalah PINTU GERBANG ketagihan terhadap zat adiktif lainnya.
- Gaya hidup perokok. Kondisi umum perokok di Indonesia saat ini adalah mulai merokok pada usia muda (15-19 tahun), sebagai gaya hidup supaya tampak trendi, cool, macho, gaul dan lain-lain. Hal ini sangat mempengaruhi kondisi psikologis kelompok remaja. Mereka menjadi terbawa kepada kebiasaan merokok dengan mengabaikan dampak negatifnya terhadap kesehatan. Kondisi ini diperburuk lagi dengan pembentukan opini yang menyesatkan melalui iklan-iklan rokok dan sponsorship dalam kegiatan remaja. Sedangkan untuk orang dewasa atau mereka yang berusia di atas 19 tahun, merokok tampaknya telah menjadi kebiasaan yang membudaya. Bahkan sudah dianggap sebagai suatu kebutuhan, baik dalam waktu istirahat maupun dalam hubungan sosial bermasyarakat.
Deden Herlan S
Sumber : Pusat Promosi Kesehatan