Kamis, 19 Maret 2009

Awas, Hipertensi Rusak Ginjal Anda!


Awas, Hipertensi Rusak Ginjal Anda!
PENYAKIT gagal ginjal kronik merupakan penyakit yang diderita oleh satu dari sepuluh orang dewasa. Tanpa pengendalian yang tepat dan cepat, pada tahun 2015 penyakit ginjal diperkirakan bisa menyebabkan kematian hingga 36 juta penduduk dunia.
Di Indonesia, peningkatan jumlah penderita gagal ginjal bisa dilihat dari data kunjungan ke poli ginjal dan banyaknya penderita yang menjalani cuci darah (hemodialisis).
Dari data dari wilayah Jabar dan Banten dua tahun terakhir ini, bisa terlihat peningkatan jumlah pasien yang menjalani hemodialisis. Pada tahun 2007 tercatat hanya 2148 pasien dan meningkat menjadi 2260 pada tahun 2008. Dari jumlah itu, sekitar 30 persen pasien berusia produktif, yakni kurang dari 40 tahun. 
Karena itu, Kamis, 12 Maret 2009 ini, dunia kembali memperingati Hari Ginjal Sedunia (World Kidney Day/WKD). Tema peringatan WKD tahun ini adalah keep the pressure down. Tema ini diambil untuk mengingatkan bahwa tekanan darah yang tidak terkontrol akan merusak ginjal.  
"Salah satu tujuan kampanye WKD tahun 2009 ini adalah untuk mengenali tekanan darah tinggi (hipertensi) sebagai salah satu penyebab penyakit ginjal kronis," ujar spesialis penyakit dalam Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Afiatin SpPD. Afiatin mengatakan, hipertensi membuat ginjal harus bekerja lebih keras. Akibatnya, sel-sel pada ginjal akan lebih cepat rusak, kata Afiatin.
Meski ancamannya mengerikan, masih banyak anggota masyarakat yang mengabaikan hipertensi. Prof Enday Sukandar SpPD-KGH mengatakan, pengabaian ini dikarenakan sifat dari hipertensi itu sendiri. Ketika belum merusak organ tubuh, penyakit tekanan darah tinggi tidak menunjukkan gejala spesifik. Akibatnya, pada tahap ini, orang masih merasa nyaman dengan kondisi tubuhnya dan tidak merasa perlu memeriksakan diri, kata Enday.
Penanganan menjadi lebih sulit dan mahal karena penderita darah tinggi baru mengeluh dan memeriksakan diri ketika sudah sakit ginjal, jantung, lumpuh, buta, dan sebagainya. Enday mengatakan, pengabaian terhadap tekanan darah tinggi tidak hanya terjadi di Indonesia yang masih tergolong sebagai negara berkembang. Di Amerika Serikat yang sistem asuransi kesehatannya jauh lebih baik, juga masih banyak terjadi pengabaian hipertensi, kata Enday.
Dr Rubin S Gondodiputro SpPD-KGH mengatakan, berdasarkan survei di AS, dalam kasus hipertensi didapati hasil yang kemudian disebut hukum separuh (the rule of half). Mudahnya begini, dari 100 orang hanya 50 orang yang tahu kalau dirinya menderita hipertensi. Lalu, dari 50 orang itu, hanya 25 orang yang berobat. Ironisnya, da ri 25 orang yang berobat, hanya 12,5 orang yang berhasil sembuh. "Itu hasil penelitian di Amerika, apalagi di Indonesia," kata Rubin.
Rubin mengatakan, di Indonesia belum pernah dilakukan studi komprehensif mengenai hipertensi. Sebab itu, dalam penentuan pasien menderita hipertensi atau tidak, Indonesia masih menggunakan standar WHO, yakni tekanan darah pada 140/90. Namun, angka ini hanya bisa dipakai pada pasien yang semata-mata hanya menderita hipertensi. "Pada kasus khusus, misalnya pada pasien yang juga menderita penyakit kencing manis, tekanan 130/80 sudah bisa dinyatakan hipertensi," kata Rubin.  
Enday menambahkan, hipertensi merupakan salah satu penyakit genetik. Namun, dengan gaya hidup yang tidak sehat, orang yang secara genetis tidak memiliki risiko juga bisa terkena hipertensi. Sebaliknya, dengan gaya hidup sehat, orang yang mewarisi gen hipertensi justru bisa terhindar. Ada banyak faktor risiko hipertensi, antara lain usia lanjut, diabetes, merokok, kolesterol, dan obesitas, kata Enday.
Sebagai bagian dari kampanye WKD ini, Sub-bagian Ginjal Hipertensi Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit Hasan Sadikin akan mengadakan simposium bertajuk Mengenal Hipertensi dengan Berbagai Aspeknya. Subtopik yang akan dibahas adalah, yakni hipertensi sebagai masalah masyarakat, mengenal berbagai akibat hipertensi, kelainan jantung, ginjal, dan otak terkait hipertensi, dan pengelolaan hipertensi.
Simposium akan diselenggarakan pada Sabtu (14/3) di Hotel Grand Preanger Bandung mulai pukul 09.00. Acara terbuka untuk masyarakat umum dengan biaya pendaftaran Rp 50.000. Peminat bisa menghubungi Hery di nomor 081221549538.
ELLY tak pernah menyangka, bidadari kecilnya harus menjadi penderita gagal ginjal kronik. Sebuah penyakit yang dalam pikirannya tak akan bisa menyerang bocah seusia Maulida, yang kala itu masih 10 tahun. Dr. Endang Lestari, dokter yang menangani Maulida mengatakan, pemahaman masyarakat untuk mendeteksi secara dini gejala-gejala penyakit ginjal masih sangat terbatas. Hal ini mengakibatkan efek fatal menimpa sang anak. Sebab, jika telah divonis mengalami gagal ginjal, sang anak harus bersahabat dengan cuci darah sepanjang hidupnya.
"Masyarakat kita tahunya, penyakit anak-anak itu pilek, batuk, demam, masuk angin. Mereka berpikir penyakit seperti ginjal tidak bisa menyerang anak-anak. Oleh karena itu, sosialisasi untuk mengenali gejala-gejalanya secara dini sangat penting sekali. Seperti kasus Maulida ini. Karena terlambat mendeteksi, ternyata sudah sampai stadium gagal ginjal kronis," jelas dr. Endang yang ditemui saat turut menemani Maulida dalam acara Temu Penderita Gagal Ginjal, di Jakarta, Sabtu (15/3).
Gejala yang bisa dideteksi dengan mudah, lanjut Endang, sering mengalami kejang. Kejang terjadi sebagai efek dari ureum dan kreatinin yang meningkat, mengakibatkan peningkatan racun dalam tubuh. Peningkatan racun dalam tubuh inilah yang menyebabkan gagal ginjal dan harus dilakukan cuci darah. Jika berhasil dideteksi ketika masih dalam taraf infeksi, risiko gagal ginjal dapat dicegah.
Infeksi yang dimaksud, selain infeksi ginjal juga kandung kemih. Gejalanya, disertai pula dengan susahnya anak mengalami naik berat badan."Gagal ginjal pada anak itu bisa karena kelainan bawaan, keturunan, dan juga didapat karena penyakit lain yang membawa efek ke ginjal. Kebanyakan faktor luar. Bukan karena pola makan. Dalam kasus Maulida, awalnya dia sebenarnya mengalami infeksi ginjal namun tidak ditangani dengan baik," lanjut Endang.
Ternyata, tak hanya Maulida, penderita gagal ginjal anak-anak yang ditangani dr. Endang. Bahkan, ia pernah menangani bayi berusia 1 tahun yang didiagnosis mengalami gagal ginjal. "Tapi karena masih bayi kita nggak bisa terapkan CAPD, sehingga akhirnya tidak tertolong. Yang sedang saya tangani sekarang, ada yang usianya masih 5 tahun, 7 tahun. Jadi memang harus kita waspadai," lanjut dokter spesialis anak ini.
Penderita yang mengalami gagal ginjal, hanya bisa dinyatakan sembuh setelah melakukan transplantasi ginjal. Tanpa itu, maka seumur hidup akan bergantung pada hemodialisis ataupun Continuous Ambulatory Peritonial Dialysis (CPDA). Sayangnya, transplantasi ginjal pada anak-anak bukan perkara mudah. Bahkan, hingga saat ini hanya bisa dilakukan di luar negeri. Selain memiliki risiko yang jauh lebih tinggi, dokter-dokter di Indonesia belum banyak yang melakukannya.
Dokter Endang pun menitip pesan untuk seluruh orang tua. "Jangan pernah remehkan, sesimpel apapun gejala penyakit yang dialami anak. Segera bawa ke puskesmas atau rumah sakit. Dan kalau perlu jangan hanya mengandalkan satu diagnosa jika memang tidak yakin, atau mencari second opinion," pesan dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar